Belum lama ini, aku melihat dua
kakak beradik laki-laki bergelut di Mesjid. Kedua anak itu mungkin umurnya sekitar 4-6 tahun, dengan potongan rambut seperti
batok kelapa. Mereka saling mengganggu, kejar-kejaran dan berebut tas ibunya.
Karena mereka tarik-tarikan, akhirnya salah satu dari kedua anak itu jatuh
tertelungkup. Eh, waktu melihat saudaranya tersungkur gitu, anak laki-laki yang
satu lagi malahan dudukin punggungnya ala-ala smack down gitu. Aku otomatis
ngakak ngeliat tingkah kedua anak itu. Haha..
Aku jadi berpikir, sepertinya
lucu kalau anakku yang kedua laki-laki juga, jadi si Bagas ada lawanya. Jadilah
hal itu aku sampaikan ke suami, aku bilang ‘kayaknya kalau adek hamil lagi
pinginya laki-laki lagi aja’. Kemudian aku ceritakan sama si mas apa yang aku
lihat di mesjid. Terus si mas berkomentar begini,’ ya, adek bilang itu lucu
karena liatnya baru sekali, coba kalau tiap hari ngeliat mereka bergelut kayak
gitu di rumah, bisa-bisa adek uring-uring terus’.
Hm, sepertinya suamiku ada benarnya. Tapi aku
jadi tercenung juga, terkadang kita tidak mensyukuri apa yang kita miliki,
bukan? Misalnya nih, dulu waktu hamil ngeliat anak kecil berantakin lemari, aku
bisa ketawa ngakak karena menganggapnya lucu. Eh, waktu Bagas melakukan hal itu
tiap hari, aku tak menganggap hal itu lucu lagi, tapi justru merasa sebal.
Capek tau beresin baju yang udah dilipat rapi-rapi. Padahal kalau udah nggak
bete lagi, aku bisa senyum-senyum sendiri mengingat tingkah polah si Bagas ini.
Apalagi aku pernah ngebaca status
seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Ibu itu seneng banget waktu
anaknya akhirnya berantakin rumahnya. Sesuatu yang mebuat sebal para ibu
beranak normal. Ah, kalau sudah begitu aku bisa menyesal sendiri, karena
kurangnya rasa syukur yang kumiliki. Ya, kenakalan-kenakalan kecil yang
dilakukan anak kita terkadang memang menyebalkan (apalagi kalo lagi PMS), tapi
hal itu justru yang menjadikan anak-anak sebagai anak-anak. Bisa dibayangin
nggak, kalo anak-anak diciptakan langsung memiliki logika seperti orang dewasa.
Where’s the fun in that? Mengutip perkataan Imam Ghazali (kalo nggak salah ), ‘tidak
akan tercipta yang lebih indah daripada apa yang telah tercipta’.
Ya, aku menyadari bahwa usia-usia
awal anak, adalah fase yang merepotkan dan menyita perhatian. Tapi ini juga
fase yang termenyenangkan. Ini adalah saat mereka bertingkah dengan berbagai
kepolosan murni seorang anak-anak. dan aku sangat menikmati menatap mata anaku
yang masih polos itu (kenapa aku tak punya pandangan sepolos itu? hehe) . Apalagi
di fase ini kita jauh lebih bebas untuk mencium, memeluk, menggendong dan
bergelut dengan mereka. Kelak jika ia bertambah besar tentu kita tak sebebas
itu lagi melakukan hal ini.
aku lupa ini gambar ngopi darimana |
Melihat sesuatu dengan perspektif
yang benar adalah hal yang sedang kupelajari saat ini. aku belajar untuk
melihat sisi humor di berbagai tingkah Bagas yang absurd itu. Dan sebenarnya
selalu ada hal yang bisa dinikmati dari setiap tingkah-tingkah anak kita. Hanya saja terkadang kita tidak
menyadari hal itu karena udah terlanjur capek dengan urusan keseharian yang
lain. Atau bahkan terkadang kesal dengan ulah anak karena ekspektasi keliru yang kita sematkan padanya. Ah, mungkin aku
terkadang harus melihat tingkah Bagas dari sudut pandang orang asing di Mesjid,
apakah aku akan bereaksi berbeda?
ODOPfor99days #day16
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar