Rabu, 14 Oktober 2015

Memuliakan Manusia Menurut Islam





Tak sedikit kita mendengar konflik yang disebabkan karena ‘membela kehormatan dan martabat’. Kehormatan dan martabat adalah satu bagian vital dari hidup manusia. Siapapun itu, pasti takkan senang ketika kehormatan dan martabatnya direndahkan oleh orang lain. Ketika kehormatanya mulai direndahkan, manusia akan bereaksi untuk membela diri. Hal itu sudah merupakan naluri dasar manusia. Gerakan HAM merupakan upaya manusia untuk membela kehormatannya akibat  penindasan oleh penguasa yang kejam dan diskriminatif sekitar tahun 1215M. 

Hingga saat ini HAM masih menjadi jargon untuk membela kehormatan dan martabat manusia.  Hal ini ibarat pedang bermata dua, di satu sisi HAM membela kepentingan manusia, di sisi lain HAM menuntut penyamarataan perlakuan dan logika berpikir. Sehingga apapun itu, ajaran agama ataukah kearifan lokal yang tidak sejalan dengan konsep HAM akan dicap meremehkan kehormatan manusia. Tuntutan menyamaratakan konsep menjaga kehormatan ini yang menimbulkan konflik tersendiri. Sebab menjaga kehormatan manusia tak hanya terdapat pada Magna Charta, Bill Of Right, dan piagam-piagam sejenis yang merupakan hasil logika manusia. Namun agama juga telah mengatur konsep kehormatan dan martabat manusia. 

Salah satu agama yang cukup sering dituding anti HAM adalah Islam. Berita miring tentang Islam merendahkan kehormatan manusia tak jarang  menghiasi berbagai media massa. Mulai dari perilaku umatnya, literatur sejarahnya, hingga syariat agama Islam dipertanyakan dan diperdebatkan. Fenomena yang baru-baru ini terjadi contohnya. Sekelompok orang yang menyebut dirinya ISIS melakukan berbagai tindakan yang tidak saja merendahkan kehormatan tapi bahkan dengan mudahnya menumpahkan darah manusia. Mereka pun tak segan melakukan tindakan yang sadis dan mempertontonkanya pada masyarakat luas. 

Apa yang dilakukan ISIS tentu saja bertentangan dengan Islam. Meskipun ISIS berpenampilan seperti kaum muslimin dan menggunakan berbagai lambang dalam agama Islam, mereka tidak dapat disandarkan pada Islam. Penyimpangan yang terdapat  dalam perilaku dan doktrin ISIS, sudah pasti bukan bagian dari ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah Subhanahu Wata’ala berikut:

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Ma`idah: 32)

Firman Allah di atas adalah landasan sekaligus bukti bagaimana umat muslim memandang tingginya nyawa manusia. Dalam Islam tidak dibenarkan bergampang-gampang membunuh manusia. Membunuh seseorang dihukumi dengan membunuh manusia seluruhnya dan memelihara kehidupan seseorang diibaratkan dengan memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Dari terjemahan surat Al Ma’idah di atas, kita juga dapat melihat bahwa kata yang digunakan adalah ‘manusia’ bukan ‘muslim’, hal ini menunjukan bahwa larangan menumpahkan darah ini tidak hanya berlaku bagi muslim semata namun juga larangan membunuh non muslim tanpa alasan yang dibenarkan.

Disamping tindakan ISIS adalah hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, landasan perbuatan merekapun tak dibenarkan dalam Islam. ISIS menyatakan siapa pun yang tidak mau membai’at khalifah mereka, maka mereka pantas untuk dibunuh. Hal ini jelas bertentangan dengan Islam, sebab muslim wajib menyelesaikan bai’at mereka yang pertama, yaitu kepada presiden/pemimpin resmi yang muslim ditempat mereka berdomisili. Dan tidak ada paksaan untuk membai’at seseorang di dalam Islam. 

ISIS jelas menjadi fitnah bagi agama Islam dan penganutnya. Padahal umat muslim di seluruh dunia yang mengetahui penyimpangan ISIS melakukan berbagai upaya untuk meredam ISIS. Bahkan upaya kerja sama beberapa negara dengan Arab Saudi untuk menggempur ISIS juga telah dilakukan. Aksi sosial dari negara Islam untuk membantu warga sipil di Suriah juga digulirkan, seperti pemberian kebutuhan pokok dan bantuan bagi warga sipil Suriah yang hendak pindah ke tempat yang aman. Disamping itu berbagai ormas dan kelompok Islam menyebarluaskan penyimpangan ISIS melalui berbagai kegiatan dakwah dan media massa untuk mencegah pemuda-pemudi terkena pengaruh ISIS. Berbagai upaya ini masih dilakukan hingga sekarang, sebab solidaritas di dalam Islam amat ditekankan seperti hadist yang saya kutip berikut:

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam” (HR. Muslim no. 2586)  (1)

beberapa aksi sosial untuk Suriah (sumber : muslim.or.id dan moslem channel)


Hadist yang saya kutip di atas menunjukan bagaimana Islam adalah agama yang penuh kasih sayang, saling memperhatikan dan menganjurkan untuk berakhlak mulia kepada orang lain. Hal ini tidak terbatas hanya di lingkup sesama muslim semata namun juga terhadap non muslim, seperti ayat Al-Qur’an yang saya kutip di bawah ini: 

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik (dalam urusan dunia) dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah :8).
Berdasarkan firman di atas, kita dapat melihat bahwa muslim diperintahkan untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap non muslim yang tidak memerangi umat muslim. Yang termasuk dalam berbuat baik disini adalah tidak mengganggu harta, darah dan kehormatan mereka. Sebab mengganggu ketiga hal tersebut termasuk dalam kezaliman yang haram hukumnya dalam agama Islam. 

Lalu bagaimana dengan kelompok non muslim yang memerangi muslim? Apakah muslim berlaku kejam dan merendahkan kehormatan mereka?. Tak sedikit literatur sejarah yang menimbulkan pemikiran seperti itu mengenai umat muslim, baik dalam peperangan maupun setelah peperangan dengan diperbolehkanya perbudakan atas tawanan perang. Perang dan perbudakan adalah dua tema utama yang cukup sering ditudingkan kepada Islam sebagai agama yang bertentangan dengn HAM. Berikut penjabarannya mengenai kedua hal tersebut.

Islam menghormati musuh

Dalam literatur sejarah Islam terdapat cukup banyak kisah peperangan sejak zaman Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam. Islam dianggap haus darah dan intolerant karena banyaknya referensi sejarah mengenai perang yang tak berimbang. Padahal tujuan perang dalam Islam adalah membela agama Allah bukan untuk membela suku/bangsa tertentu, perebutan kekuasaan ataupun perkara dunia lainya. Perang merupakan alternatif terakhir setelah dilakukan perundingan dan pemberian peringatan terhadap musuh. Dan pada dasarnya sebagian besar penyulut perang dalam Islam adalah pengkhianatan dan pembatalan perjanjian damai oleh musuh. 

Bahkan didalam berperang, umat muslim diberi rambu-rambu agar tetap menghormati hak musuh. Islam melarang membunuh wanita, anak-anak, musuh yang telah menyerah, orang yang tidak ikut terlibat perang, bahkan pendeta yang sedang beribadah di tempat ibadahnya. Tidak hanya itu, Islam pun melarang untuk merusak tanaman, mata air dan sumber penghidupan orang banyak. Para tawanan perang juga tidak dipaksa untuk masuk Islam ataupun membayar jisyah (denda) yang tinggi. 

Hal yang luput dari perhatian orang yang membaca sejarah Islam adalah negara Islam tidak pernah menyiksa lawan perangnya yang telah kalah. Umat muslim hanya mengambil harta rampasan perang dan tidak pernah menjajah atau berlaku sewenang-wenang terhadap lawanya yang telah kalah. Bahkan pada salah satu kisah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima permintaan damai yang diajukan oleh musuhnya yang telah terdesak, seperti yang terjadi pada perang Khaibar. Padahal Yahudi Khaibar telah memerangi umat muslim dengan mengerahkan segala kemampuan mereka sejak dua tahun sebelum perang terjadi. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepakat untuk berdamai dan hanya meminta mereka meninggalkan Khaibar serta menyerahkan harta mereka kecuali pakaian yang mereka kenakan. Jika Islam tidak memandang kehormatan dan martabat manusia, tentu mereka akan mendapat perlakuan buruk atau bahkan penyiksaan. Tapi  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru melindungi darah mereka.
 
Perilaku penuh hormat kepada musuh tidak hanya terdapat pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semata. Peristiwa perang Salib dari seorang orientalis Jerman bernama Sigrid Hunke yang saya kutip di bawah ini pun menunjukan bagaimana Islam menghormati tawanan perangnya.

Hunke mengisahkan sebuah dokumen penting yang merupakan catatan dari tentara salib saat menjadi tawanan Sultan al-Kamil al-Ayyubi. Hunke mengatakan, “Saat Sultan al-Kamil memenangkan pertempuran pada tahun 1221 M, ia memperlakukan tawanannya dengan hormat. Ia tidak mengqishas tawanan tersebut; mata dengan mata dan gigi dengan gigi. Yang ia lakukan adalah memberikan mereka makanan. Ia mengirimkan uang sebanyak 30.000 Raghif. Dan memberi makanan lainnya. Apa yang dilakukannya ini disaksikan oleh seorang tawanan yang merupakan seorang filsuf dan teolog Jerman dari Kota Cologne yang bernama Oliveros. Belum pernah terdengar sekelompok pasukan memperlakukan tawanannya dengan cara lemah lembut dan dermawan seperti ini, khususnya tawanan yang merupakan musuh di medan peperangan… … (tawanan mengatakan) Orang-orang yang kami bunuh ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, dan kami perlakukan dengan kejam, ternyata kemudian kami menjadi tawanan mereka. Dan hampir-hampir kami mati kelaparan. Mereka malah mengutamakan diri kami dibanding mereka sendiri. Mereka membantu kami dengan segala daya dan upaya. Kami merasakan kasih sayang mereka, padahal saat itu kami tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan.” (Sigrid Hunke, Allahu Laysa Kadzalik, Hal: 33).

Islam meningkatkan martabat budak

Perbudakan adalah hal yang tidak dilarang dalam Islam. Dan perbudakan mungkin menjadi salah satu tema tuduhan utama bahwa Islam meremehkan martabat dan kehormatan manusia. Padahal jika ingin jujur, para anti Islam tentu mengetahui bahwa budaya perbudakan telah ada sejak sebelum Islam. Bangsa Romawi, Persia, Babilonia, dan Yunani, seluruhnya mengenal perbudakan. Begitu juga bangsa Eropa ketika menemukan Benua Amerika, mereka pun memperbudak dan memandang rendah penduduk lokal. Mereka memiliki banyak penyebab untuk memperbudak seseorang diantaranya, perang, tawanan, penculikan, menjual anak-anak yang menjadi tanggungan atau karena menjadi pencuri. Mereka memandang dan memperlakukan budak dengan keji, memberikan pekerjaan yang sangat berat serta penyiksaan yang sangat merendahkan martabat manusia.

Perlakuan dan pandangan  ini sangat berkebalikan dengan perbudakan dalam Islam. Satu-satunya penyebab seseorang menjadi budak dalam Islam adalah musuh yang telah menjadi tawanan perang. Mungkin sebagian orang bertanya mengapa Islam tidak mewajibkan pembebasan budak, meski tawanan perang sekalipun? Islam tidak mewajibkan pembebasan budak karena tidak semua budak mampu untuk merdeka berdiri sendiri. Para budak dari kelompok anak-anak dan wanita belum tentu mampu menghidupi dirinya sendiri. Sementara budak laki-laki dari tawanan musuh tidak dimerdekakan agar tidak mengganggu umat muslim beribadah dan berdakwah.

Satu sikap yang wajib dalam Islam berkenaan dengan perbudakan adalah bersikap lembut dan kasih sayang terhadap mereka. Bahkan Islam mengangkat martabat mereka dengan panggilan yang baik, serta memandang mereka sebagai saudara dari tuan mereka. Islam juga menentang penyiksaan terhadap budak, barang siapa melukai tubuh budaknya maka ia wajib membebaskan budaknya tersebut. Terdapat banyak perintah dan larangan yang berkaitan dengan bersikap lembut terhadap para budak, salah satunya hadits yang saya kutip di bawah ini.

”Mereka (para budak) adalah saudara dan pembantu kalian yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barang siapa yang memiliki saudara yang ada dibawah kekuasaannya, hendaklah dia memberikan kepada saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai. Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka. Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat, hendaklah kamu membantu mereka. (hadist Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari I/16, II/123-124 dan IV/125)
(2)

Disamping tuntunan untuk berlaku lembut terhadap para budak, Islam juga mendorong memerdekakan budak dengan berbagai cara, diantaranya adalah janji balasan pahala yang besar  bagi muslim yang mau memerdekakan seorang budak, serta menjadikan memerdekakan budak sebagai kaffarah (penebus) dosa-dosa tertentu. Berikut satu hadist yang menunjukan tingginya nilai ibadah memerdekakan seorang budak:

“Barang siapa membebaskan budak yang muslim niscaya Allah akan membebaskan setiap anggota badannya dengan sebab anggota badan budak tersebut, sehingga kemaluan dengan kemaluannya.” (hadist Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Fathul Bari V/146 dan Shahih Muslim No. 1509) (3)

Dari pemaparan di atas, kita dapat mengerti bagaimana Islam memandang tinggi kehormatan dan martabat manusia. Jika syariat Islam mewajibkan berlaku lembut dan menghormati musuh dan budak, apalagi terhadap kelompok yang tidak memerangi Islam dan pribadi yang merdeka. 

“Sesungguhnya darah, kehormatan dan harta kalian diharamkan atas kalian (saling menzholiminya) seperti kesucian hari ini, pada bulan ini dan di negri kalian ini sampai kalian menjumpai Robb kalian. Ketahuilah apakah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab, “Ya”. Maka beliau pun bersabda, “Ya Allah persaksikanlah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar langsung. Maka janganlah kalian kembali kufur sepeninggalku, sebagian kalian saling membunuh sebagian lainnya.”(HR Al Bukhari kitab Al Ilmu -no. 67) (4)

Tulisan ini saya ikutkan dalam lomba #70thICRCid.
Catatan kaki:
(4)   http://muslim.or.id/4041-memahami-arti-jihad.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar