-1 Dzulhijjah 1436 H
Menggabungkan Akikah dengan Kurban
Ulama berselisih pendapat
dalam masalah ini. Ada yang membolehkan dan menganggapnya sah sebagai
akikah sekaligus kurban dan ada yang menganggap tidak bisa digabungkan.
Pendapat pertama, berkurban tidak bisa digabungkan dengan akikah. Ini
adalah pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan salah satu pendapat Imam
Ahmad rahimahullah.
Dalil pendapat ini antara lain, bahwa akikah
dan kurban adalah dua ibadah yang berdiri sendiri, sehingga dalam
pelaksanaannya tidak bisa digabungkan. Disamping itu, masing-masing
memiliki sebab yang berbeda. Sehingga tidak bisa saling menggantikan.
Al-Haitami mengatakan,
“Dzahir pendapat ulama Syafi’iyah bahwa jika
seseorang meniatkan satu kambing untuk kurban sekaligus akikah maka
tidak bisa mendapatkan salah satunya. Dan inilah yang lebih kuat. Karena
masing-masing merupakan ibadah tersendiri.” (Tuhfatul Muhtaj, 9/371).
Pendapat kedua, boleh menggabungkan antara kurban dengan akikah. Ini
merupakan pendapat madzhab Hanafi, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan
pendapat beberapa tabi’in seperti Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirrin,
dan Qatadah rahimahumullah.
Dalil pendapat ini, bahwa tujuan kurban dan akikah adalah beribadah
kepada Allah dengan menyembelih. Sehingga akikah bisa digabungkan dengan
kurban. Sebagaimana tahiyatul masjid bisa digabungkan dengan shalat
wajib, bagi orang yang masuk masjid dan langsung mengikuti jamaah.
Disebutkan Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (5/534) beberapa riwayat
dari para tabi’in, diantaranya Hasan al-Bashri pernah mengatakan,
إذَا ضَحُّوا عَنْ الْغُلَامِ فَقَدْ أَجْزَأَتْ عَنْهُ مِنْ الْعَقِيقَةِ
“Jika ada orang yang berkurban atas nama anak maka kurbannya sekaligus menggantikan akikahnya”
Dari Hisyam dan Ibn Sirrin, beliau berdua mengatakan, “Kurban atas nama anak, itu bisa sekaligus untuk akikah.”
Qatadah mengatakan, “Kurban tidak sah untuknya, sampai dia diakikahi.”
Al-Buhuti mengatakan, “Jika akikah dan kurban waktunya bersamaan, dan
hewannya diniatkan untuk keduanya maka hukumnya sah untuk keduanya,
berdasarkan keterangan tegas dari Imam Ahmad.” (Kasyaful Qana’, 3/30)
Sementara itu, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh memilih pendapat
yang membolehkan menggabungkan akikah dan kurban. Beliau menyatakan
dalam fatwanya,
“Andaikan akikah dan kurban terjadi secara bersamaan maka satu
sembelihan itu bisa mencukupi untuk orang yang menyembelih. Dia niatkan
untuk kurban atas nama dirinya, kemudian menyembelih hewan tersebut, dan
sudah tercakup di dalamnya akikah. Menurut keterangan sebagian ulama
dapat disimpulkan bahwa akikah dan kurban bisa digabung jika ‘atas
namanya’ sama. Artinya kurban dan akikahnya tersebut atas nama salah
seorang anak. Sementara menurut keterangan ulama lain, tidak ada syarat
hal itu. Artinya, jika seorang bapak hendak berkurban maka kurbannya
bisa atas nama bapak, dan sekaligus untuk akikah anaknya. Ringkasnya,
jika ada orang menyembelih hewan, dia niatkan untuk berkurban, dan itu
sudah mencukupi untuk akikah.” (Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim,
6/159
-4 Dzulhijjah 1436 H
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Tidak halal menggabungkan utang dengan jual beli, tidak pula dua syarat
dalam jual beli, tidak pula keuntungan tanpa ada pengorbanan, dan tidak
pula menjual barang yang tidak kamu miliki. (HR. Ahmad 6671, Abu Daud
3506, Turmudzi 1279 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Pertama, Tidak boleh menggabungkan utang dengan jual beli
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak halal menggabungkan salaf (utang) dengan jual beli.”
Ada dua bentuk penggunaan untuk kata salaf dalam bahasa arab, pertama
untuk menyebut utang dan kedua untuk menyebut jual beli salam.
Kata salaf dalam hadis ini maknanya adalah utang. Sebegaimana keterangan al-Baghawi (Nailul Authar, 5/213).
Dalam Syarh Turmudzi, disebutkan keterangan Imam Ahmad,
قال إسحاق بن منصور: قلت لأحمد: ما معنى نهى عن سلف وبيع؟ قال: أن يكون
يقرضه قرضاً ثم يبايعه بيعاً يزداد عليه. ويحتمل أن يكون يسلف إليه في شيء
فيقول: إن لم يتهيأ عندك فهو بيع عليك
Ishaq bin Manshur pernah bertanya kepada Imam Ahmad,
“Apa makna laragan beliau, menggabungkan utang dengan jual beli?”
Jawab Imam Ahmad,
“Bentuknya, si A memberi utang kepada si B, kemudian mereka melakukan
transaksi jual beli sebagai syarat tambahannya. Bisa juga bentuknya, si A
mengutangi si B, lalu ketika menagih, dia mengatakan, “Kalau tidak bisa
melunasi sekarang, kamu wajib jual barangmu.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/361)
-5 Dzulhijjah 1436 H
Jika Terlambat Sholat Jenazah
“
Jika shalat telah didirikan (terdengar iqamat), maka janganlah
mendatanginya dengan berlari (tergesa-gesa). Dan datangilah shalat itu
dengan berjalan tenang. Apa yang kamu dapati dari imam, maka kerjakanlah
sepertinya, dan apa yang terlewatkan darimu maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari no. 908 dan Muslim no. 151
Perkataan Nabi “
فَصَلُّوا”
(maka shalatlah sepertinya)
dalam hadits di atas, menunjukkan bahwa orang yang terlambat ikut
shalat jenazah hendaknya langsung bertakbir dan shalat bersama imam,
tidak menunggu imam melakukan takbir berikutnya.
Penggalan perkataan Nabi “
فَأَتِمُّوا” (
…maka sempurnakanlah!)
menunjukkan bahwa shalat makmum masbuq dihitung sesuai kondisi dirinya
dan kondisi imam. Artinya, makmum bertakbir lalu membaca Al-Fatihah.
Setelah itu mengerjakan takbir lanjutan beserta bacaannya, yaitu
shalawat Nabi pada takbir kedua dan doa untuk mayyit pada takbir ketiga,
sekalipun bacaan imam berbeda dengannya. Di antara ulama belakangan
yang berpendapat demikian adalah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Al-Jibrin
rahimahullah.
Namun, perlu diketahui bahwa terdapat riwayat lain dari hadits ini yang berbunyi:
إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَلَا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ
تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ وَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا
أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوا
“
Jika kalian mendatangi shalat, maka janganlah mendatanginya
dengan berlari (tergesa-gesa). Datangilah shalat itu dengan berjalan
tenang. Apa yang kamu dapati dari imam, maka shalatlah (kerjakanlah
sepertinya), dan apa yang terlewatkan darimu maka tunaikanlah.” (HR. An-Nasai no. 860, Ahmad no. 7452, Ibnu Hibban no. 518)
Perkataan Nabi “
فَاقْضُوا” (
…maka tunaikanlah!)
menunjukkan bahwa shalat makmum masbuq dihitung sesuai kondisi imam,
bukan kondisi makmum. Jadi, ia bertakbir lalu membaca sesuai dengan
bacaan imam (shalawat Nabi pada takbir kedua dan doa untuk mayyit pada
takbir ketiga). Setelah imam salam, ia bertakbir dan membaca Al-Fatihah.
Di antara ulama belakangan yang berpendapat demikian adalah Syaikh
Abdurrahman Al-Barrak.
salah satu dari kedua pendapat di atas boleh diamalkan tanpa mengingkari orang yang menyelisihi.
Adapun jika sudah sangat terlambat dan khawatir jenazah akan
segera diangkat sebelum selesai shalatnya, maka cukup baginya bertakbir
secara berturut-turut (tanpa bacaan) lalu salam.
- 7 Dzulhijjah 1436 H
Dari Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
أفضل الصلوات عند الله صلاة الصبح يوم الجمعة في جماعة
Shalat yang paling afdhal di sisi Allah adalah shalat subuh pada hari jumat secara berjamaah. (HR. Abu Nuaim dalam al-Hilyah 7/207, dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah as-Shahihah, no. 11566)
-8 .Dzulhijjah 1436 H
Adab Shalat Hari Raya
1. Mandi pada Hari Id
Dari Nafi’, beliau mengatakan
أن عبد الله بن عمر كان يغتسل يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى
bahwa Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma mandi pada hari Idul Fitri sebelum
berangkat ke lapangan. (HR. Malik dan asy-Syafi’i dan sanadnya shahih)
Al-Faryabi menyebutkan bahwa Said bin al-Musayyib mengatakan:
سنة الفطر ثلاث : الـمَشْي إِلى الـمُصَلى ، و الأَكل قَبل الخُروج، والإِغتِسال
“Sunah ketika Idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan
sebelum keluar (menuju lapangan), dan mandi. (Ahkamul Idain karya
al-faryabi dan sanadnya dishahihkan al-Albani)
Catatan:
Dibolehkan untuk memulai mandi hari raya sebelum atau sesudah subuh. Ini
adalah pendapat yang kuat dalam Madzhab Syafi’i dan pendapat yang
dinukil dari imam Ahmad. Allahu a’lam.
2. Berhias dan Memakai Wewangian
Dari Ibnu Abbas, bahwa pada suatu saat di hari Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ هَذَا يَومُ عِيدٍ جَعَلهُ الله لِلمُسلِمِينَ فمَن جاءَ إلى
الـجُمعةِ فَليَغتَسِل وَإِن كانَ عِندَه طِيبٌ فَليَمسَّ مِنهُ وَعَلَيكُم
بِالسِّواكِ
“Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah
jadikan untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang hadir jumatan, hendaknya
dia mandi. Jika dia punya wewangian, hendaknya dia gunakan, dan kalian
harus gosok gigi.” (HR. Ibn Majah dan dihasankan al-Albani)
3. Memakai Pakaian yang Paling Bagus
Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan:
كانت للنبي -صلى الله عليه وسلم- جُبّة يَلبسُها فِي العِيدَين ، وَ يَوم الـجُمعَة
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang beliau gunakan
ketika hari raya dan hari Jumat.” (HR. Ibn Khuzaimah dan kitab
shahihnya)
Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan: Umar bin Khathab
pernah mengambil jubah dari sutra yang dibeli di pasar. Kemudian dia
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ya Rasulullah, saya
membeli ini, sehingga engkau bisa berhias dengannya ketika hari raya dan
ketika menyambut tamu. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menolaknya karena baju itu terbuat dari sutra. (HR. Bukhari, Muslim, dan
an-Nasa’i)
Imam as-Sindi mengatakan: “…dari hadis disimpulkan
bahwa berhias ketika hari raya merupakan kebiasaan yang mengakar di
kalangan mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, yang
artinya kebiasaan itu tetap belaku… (Hasyiah as-Sindy ‘ala an-Nasa’i,
3:181)
4. Tidak Makan Sampai Pulang dari Shalat Idul Adha dengan Daging Kurban
Dari Buraidah, beliau berkata:
لاَ يَـخرجُ يَومَ الفِطرِ حَتَّى يَطعَمَ ولاَ يَطعَمُ يَومَ الأَضْحَى حَتَّى يُصلِّىَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju shalat Idul
Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan ketika Idul Adha, beliau
tidak makan sampai shalat dahulu. (HR. At Turmudzi, Ibn Majah, dan
dishahihkan al-Albani)
5. Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan
Dari sa’d radliallahu ‘anhu,
أنَّ النَّبـىَّ -صلى الله عليه وسلم- كانَ يَـخْرج إلَى العِيد مَاشِيًا وَيَرجِعُ مَاشِيًا
Bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan dengan
berjalan kaki dan beliau pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibn majah dan
dishahihkan al-Albani)
-19 Dzulhijjah 1436 H
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (QS. Al Maidah:
32).
-26 Dzulhijjah 1436 H
Alasan membaca shirah Nabi:
Pertama: Sirah Nabi ﷺ adalah sumber kedua dari syariat Islam
Kedua: Mengenal sosok Nabi Muhammad ﷺ
Ketiga: Menimbulkan Kecintaan Kepada Nabi ﷺ
Keempat: kita akan paham apa yang dimaksud dengan sikap hikmah
sumber : http://kisahmuslim.com/4-alasan-mengapa-harus-membaca-sirah-nabi/