Akhirnya, setelah sekian puluh
kali ikut lomba n kuis ada juga yg ngasih hadiah. Walaupun aku belum tau sih
nilai hadiahnya. Mungkin ini sedikit hiburan dari Allah y? Walaupun sebenarnya Allah
sudah mencurahkan rahmat yg banyak banget sampai saat ini. Hadiah yg aku
dapetkan yaitu voucher Informa, dari kontes upload foto di sosmed. Aku bersyukur
loh, tapi tetep aja muncul pertanyaan di hati,’kok aq g pernah menang kontes
menulis sih? Apa aq g bakat nulis y?’. Bagi
aq menang kontes menulis lebih dari sekedar kesenangan mendapatkan hadiah, tapi
pengakuan bahwa aq bisa menulis. Maka dengan semakin bertambahnya record kalah
yg aq dapatkan, semakin berkecil hatilah aq.
Sebenarnya si mas kurang sreg aq
ikut kontes menulis. Dari pengamatan dia mengikuti kontes itu, kurang baik bagi
kesehatan jiwa seseorang. Menurut dia nggak sehat ketika alur perasaan
seseorang itu : bersemangat karena melihat peluang-menunggu pengumuman dgn
harap2cemas-kemudian kecewa karena kalah. Ditambah lagi katanya, dgn mengikuti kontes aq
diperalat oleh industri untuk membuat pencitraan atau kepentingan apapun yg
dimiliki oleh si pembuat kontes. Aku mendebatnya dgn mengatakan bahwa aq nggak
menunggu pengumuman dgn harap2cemas, aq hanya sedikit kecewa klo kalah dan
sebenarnya kontes adalah simbiosis mutualisme antara penyelenggara dan peserta.
Plus aq menyukai adrenaline rush yg muncul ketika aq menulis untuk sebuah
kontes. Akhirnya si mas memberikan aq saran untuk berhenti mengikuti kontes
menulis terlebih dahulu, dan fokus berlatih menulis. Aq mendebatnya (kami
lumayan sering berdebat, itu resiko menikah dgn suami yg kritis) dgn mengatakan
bahwa aku berlatih menulis dgn cara mengikuti kontes. Dy mematahkan pendapatku
dgn perumpaan, “itu ibarat orang yg nggak pernah latihan lari, terus ikut lomba
lari dgn atlet lari.” Lalu dy melanjutkan penjelasanya dgn , “ dek, dulu waktu
abang masih ikut taekwondo abang harus berlatih berkali2 untuk bisa melakukan 1
jenis pukulan. Itupun latihan awalnya nggak langsung latihan mukul. Kalau abang
ngotot ikut pertandingan sebelum bisa memukul, babak belur badan abang. Mungkin
dalam kontes menulis, badan adek nggak babak belur. Tapi semakin sering adek
kalah, semakin adek akan berkecil hati.” Well, sayangnya pendapat suamiku kali
ini benar.
Jadilah aq setuju untuk tidak
mengikuti kontes menulis dan serius belajar menulis. Tapi itu Cuma bertahan
seminggu, karena otak aku yg matre tetap tergiur untuk mengikuti kontes
menulis. Haha.. tapi jgn kira aq gak punya batasan. Aq memutuskan untuk nggak
ikut kontes menulis dari situs berat seperti kompasiana lagi. Pertama karena
temanya yg berat (seperti stabilitas sistem keuangan/ industri migas/ industri
bauksit), kedua karena aq gak mungkin mengalahkan para expert yg ahli di
bidangnya. So, aq belum pantas berkompetisi di kompasiana. Aq tidak akan
mengikuti kontes yg meminta aq menulis sesuatu yg bertentangan dgn nilai yg aq
anut seperti kontes yg diadakan oleh bank, lembaga keluarga berencana,
asuransi, atau memuji wali songo. Pertama karena tulisanq akan
kupertanggungjawabkan pada Allah, kedua karena aq tidak mw diperalat industri
untuk menciptakan pencitraan yg jelas2 aq yakini salah.
Nah, sekarang terbukti bahwa
pendapat suamiku benar dan aku akan mengikuti saranya untuk lebih banyak
berlatih menulis ketimbang mengikuti kontes. Karena sampai sekarang aq tak
kunjung menang kontes menulis. Aq tak percaya dgn kalimat,’kalah adalah menang
yg tertunda’. Aq tak perlu hiburan kosong seperti itu. aq menghibur diri dgn,’jika
niatmu baik, tak akan Allah sia2kan usahamu’. Tapi pertanyaan besarnya, Apakah niat aq mengikuti kontes memang
baik? Atau itu hanya mengikuti ambisi? Well, aq ikut kontes karena aq butuh
hadiahnya. Menurutku itu adalah cara paling cepat untuk mendapatkan tambahan untuk
tabungan pulang kampung kami. tapi sekarang, aq seperti udah kehilangan spirit
untuk pulang kampung. Aq baru menyadari bahwa alasanq pulang kampung adalah
menyenangkan ibu. Lalu sekarang, apa niatku mengikuti kontes? Ya Allah,
jadikanlah umur dan waktuku bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar